Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy
Syafi’i rahimahullah mencantumkan
dalam kitabnya yang mashur di kalangan masyarakat muslimin di Negara kita, Bulughul
Marom sebuah hadits yang statusnya Muttafaqqun ‘Alaih yang
sangat sarat makna dan Faidah di dalamnya. Hadits tersebut diriwayatkan dari
sahabat Abu Huroiroh radhiyallahu anhu, Beliau Shollallahu ‘Alaihi wa
Sallam berkata :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً
إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ »
Bahwasanya
Rasulullah ` berkata : “Sesungguhnya milik Allah 99 nama, barang siapa
yang mengahsho[i] nya maka pasti masuk surga”.[ HR.
Bukhory no. 2736, 7392, Muslim no. 6989.]
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani Asy Syafi’i rahimahullah setelah menyampaikan hadits ini dalam Bulughul Marom Beliau mengatakan bahwa At Tirmidzi, Ibnu Hibban telah membawakan riwayat tentang nama-nama tersebut namun sebenarnya nama-nama tersebut statusnya adalah mudrodz/sisipan[ii] dari perowi dan bukan Sabda Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal ini juga disetujui oleh Ibnu Hazm, Abu Bakar bin Al’Arobi[iii] , Ibnu Athiyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar dan para ulama lainnya bahkan hal ini dinilai sebagai ijma’ ulama hadits oleh Ash Shon’ani di Subulus Salam[iv]. Tambahan matan yang berstatus sebagai mudrodz dalam riwayat Tirmidzi adalah :
«
إِنَّ لِلَّهِ تَعَالَى تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا
مِائَةً غَيْرَ وَاحِدَةٍ مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ هُوَ اللَّهُ الَّذِى
لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلاَمُ
الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُ الْخَالِقُ
الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ الْغَفَّارُ الْقَهَّارُ الْوَهَّابُ الرَّزَّاقُ
الْفَتَّاحُ الْعَلِيمُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الْخَافِضُ الرَّافِعُ الْمُعِزُّ
الْمُذِلُّ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ الْحَكَمُ الْعَدْلُ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
الْحَلِيمُ الْعَظِيمُ الْغَفُورُ الشَّكُورُ الْعَلِىُّ الْكَبِيرُ الْحَفِيظُ الْمُقِيتُ
الْحَسِيبُ الْجَلِيلُ الْكَرِيمُ الرَّقِيبُ الْمُجِيبُ الْوَاسِعُ الْحَكِيمُ
الْوَدُودُ الْمَجِيدُ الْبَاعِثُ الشَّهِيدُ الْحَقُّ الْوَكِيلُ الْقَوِىُّ
الْمَتِينُ الْوَلِىُّ الْحَمِيدُ الْمُحْصِى الْمُبْدِئُ الْمُعِيدُ الْمُحْيِى
الْمُمِيتُ الْحَىُّ الْقَيُّومُ الْوَاجِدُ الْمَاجِدُ الْوَاحِدُ الصَّمَدُ
الْقَادِرُ الْمُقْتَدِرُ الْمُقَدِّمُ الْمُؤَخِّرُ الأَوَّلُ الآخِرُ الظَّاهِرُ
الْبَاطِنُ الْوَالِى الْمُتَعَالِى الْبَرُّ التَّوَّابُ الْمُنْتَقِمُ الْعَفُوُّ
الرَّءُوفُ مَالِكُ الْمُلْكِ ذُو الْجَلاَلِ وَالإِكْرَامِ الْمُقْسِطُ
الْجَامِعُ الْغَنِىُّ الْمُغْنِى الْمَانِعُ الضَّارُّ النَّافِعُ النُّورُ
الْهَادِى الْبَدِيعُ الْبَاقِى الْوَارِثُ الرَّشِيدُ الصَّبُورُ »
“Sesungguhnya
hanya milik Allah 99 nama (yang husna, pent.). Barangsiapa yang ihsho
terhadap nama tersebut maka pasti akan masuk surga. Nama-nama Allah U
tersebut adalah : Allah yang tiada ilah yang benar disembah kecuali Dia.
Al Malik, Al Quddus, As Salam, Al Mu’min, Al Muhaimin, Al Aziz, Al Jabbar,
Al Mutakabbir, Al Kholiq, Al Baari’, Al Mushowwiru, Al Ghoffar, Al Qohhaar, Al
Wahaab, Ar Rozzaaq, Al Fattaah, Al ‘Alim, Al Qoobidh, Al Baasith, Al Khoofidh,
Ar Roofi’, Al Mu’izzu, Al Mudzillu, As Samii’, Al Bashiir, Al Hakam, Al ‘Adlu,
Al Lathiif, Al Khobiir, Al Haliim, Al ‘Adzim, Al Ghofuur, Asy Syakuur, Al
‘Aliyu, Al Kabiir, Al Hafidz, Al Muqiit, Al Hasiib, Al Jaliil, Al Kariim, Ar
Roqiib, Al Mujiib, Al Wasi’, Al Hakiim, Al Waduud, Al Majiid, Al Baa’its, Asy
Syahiid, Al Haqq, Al Wakiil, Al Qowiyy, Al Matiin, Al Waliy, Al Hamiid, Al
Muhshi, Al Mubdi’u, Al Mu’iid, Al Muhyi, Al Mumiit, Al Hayyu, Al Qoyyum, Al Waajid,
Al Maajid, Al Waahid, Ash Shomad, Al Qoodir, Al Muqtadir, Al Muqoddim, Al
Muakhir, Al Awwal, Al Akhir, Adh Dhoohir, Al Baathin, Al Waaliy, Al Muta’aliy,
Al Birr, At Tawwaab, Al Muntaqimu, Al Afuwwu, Ar Ro’uuf, Maalik, Al Mulk, Dzul
Dzalali wal Ikrom, Al Muqsith, Al Jaami’, Al Ghoniy, Al Maani’u, Adh Dhorru, An
Naafi’, An Nuur, Al Haadi, Al Badii’u, Al Baqii, Al Warits, Ar Rosyiid, Ash
Shobru”. [HR. Tirmidzi no. 3849, Abu ‘Isa At Tirmidzi t mengatakan bahwa
hadits ini Syaikh Al Albani t dalam Shohih wa Dhoif Sunan At Ghorib, berkata Tirmidzi : “Dhoif jika dengan menceritakan
asma’ Allah”].[v]
Beberapa pelajaran yang bisa diambil
dari hadits ini :
! Bolehnya
bersumpah dengan nama yang manapun dari nama-nama Allah yang husna/asma’ul
husna. Pendapat inilah dhohir pendapat Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
sebagaimana Beliau isyaratkan dengan meletakkan hadits ini sebagai hadits
terakhir dalam kitabul aiman/sumpah. Berkata para ahli fikih : “Sumpah yang ada
kafarotnya adalah sumpah dengan nama Allah Subhanahu wa Ta’ala, Ar
Rohman, Ar Rohim, ataupun dengan shifat dari shifat-shifat yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala miliki. Seperti sumpah dengan Demi Wajah[vi] Allah, Demi KeagunganNya”[vii]. Sehingga bersumpah dengan selain nama
Allah ataupun shifat-shifatNya tidak ada kafarohnya melainkan termasuk dalam
syirik yang pelakunya harus bertaubat sebelum meninggal dunia dan bukanlah hal
ini menunjukkan bahwa hal ini adalah hal yang boleh ataupun hal yang sepele. Rasulullah
Berdasarkan sabda Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam :
«
مَنْ كَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللَّهِ أَوْ
لِيَصْمُتْ »
“Barangsiapa
yang hendak bersumpah maka hendaklah dia bersumpah dengan nama Allah jika tidak
maka diam”.[ HR. Bukhory no. 6108, HR. Muslim no. 1646.]
Demikian juga sabda Nabi Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam :
«
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ
أَشْرَكَ »
“Barangsiapa
yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah berbuat kekufuran atau
kesyirikan”.[ HR. Tirmidzi no. 1535, HR. Abu Dawud no. 3251, HR. Al Hakim no.
7923. Hadist ini dishohihSyaikh Al Albani dalam Shohih wa Dhoif
Sunan Abu Dawud.] kan
Hal ini termasuk syirik sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh
Sholeh Al Fauzan Hafidzahulloh karena bersumpah dengan selain
nama-nama Allah merupakan bentuk penyetaraan antara Allah dan mahluk disampinh
hal itu tidaklah dilakukan kecuali dengan nama yang padanya ada pengagungan
yang pada hakikatnya adalah milik Allah Azza wa Jalla semata.[viii]
Berkata Ibnu Mas’ud rodhiyallahu
‘anhu :
“Bersumpah
dengan nama Allah dan aku berdusta atas sumpahku lebih aku cintai daripada
bersumpah dengan nama selain Allah padahal aku jujur dengan sumpahku itu”.[ix]
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan perktaan Sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu tersebut
:
“Karena
hasanah/kebaikan yang ada pada tauhid itu lebih agung daripada hasanah/kebaikan
yang ada kejujuran, dan kejelekan yang ada pada dusta lebih ringan daripada
kejelekan yang ada pada kesyirikan”.[x]
! Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Berkata : “Para ulama ahli
hadits sepakat bahwasanya ta’yin/penentuan satu persatu nama-nama Allah Azza
wa Jalla bukanlah hadits dari Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam”.
! Abul
Wafa’ Muhammad Darwis rahimahullah : “Nama-nama Allah Shollallahu
‘Alaihi wa Sallam jumlah banyak, diantaranya ada yang Allah turunkan dalam
kitabNya, ada yang Allah ajarkan kepada NabiNya Shollallahu ‘Alaihi wa
Sallam , ada yang Allah simpan dalam ilmuNya saja karena akal manusia
tidaklah mampu mengetahui maknanya, kemuliannya[xi]. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah melalui jalan dari
sahabat Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu , Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda :
«
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ
نَفْسَكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَداً مِنْ خَلْقِكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ
أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ »
“Aku
meminta dengan seluruh nama yang Engkau miliki yang Engkau sebut Dirimu
dengannya, yang Engkau ajarkan kepada salah satu mahlukmu, yang engkau turunkan
dalam kitabMu, yang Engkau simpan dalam ilmu sebagai hal yang ghoib di sisi”.[ HR. Ahmad no. 3784, hadits ini dishohihkan oleh Al Albani
dalam Shohihut Targhib wat Tarhib no. 1822, Maktabah Syamilah.]
! An
Nawawi Asy Syafi’I rahimahullah berkata: “Para ‘ulama sepakat
bahwa hadits ini bukanlah pembatasan terhadap nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan bukanlah pembatasan bahwasanya tidak ada nama Allah Azza wa Jalla
selain yang 99 nama tersebut. Sesungguhnya maksud hadits ini hanyalah nama
Allah I itu ada 99 yang barang siapa mengahshonya[xii] maka pasti masuk surga”.[xiii]
! An
Nawawi Asy Syafi’i t berkata: “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا
» adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi dari nama
tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut”[xiv].
! Amirul
Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad ‘Isma’il Al Bukhori t berkata
shohihnya : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya”[xv]. Dan hal ini dikomentari oleh An
Nawawi tsebagai makna dhohir dari sabda Nabi ` « مَنْ أَحْصَاهَا ».[xvi]
! Ibnu
Baththol rahimahullah berkata : “Cara beramal dengan kandungan
asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah U yang
boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al Kariim
[Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk
memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah Jalla wa ‘Ala yang semacam itu akan
tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba[xvii]. Adapun shifat Allah Azza
wa Jalla yang khusus bagiNya semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya
pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung] maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan
adanya shifat tersebut bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk
terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut.
Sedangkan nama-nama Allah yang padanya ada makna janji maka
kewajiban seorang hamba adalah menambatkan pada hatinya rasa
harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama tersebut padanya terkandung
makna ancaman maka kewajiban seorang hamba adalah menjauhinya,
menjaga diri darinya, menambatkan dalam hatinya rasa cemas dan takut
yang disertai dengan ilmu”[xviii].
! Tidak ada
satu riwayat yang shahih dari Nabi Shollahu ‘Alaihi wa Sallam yang
menyebutkan secara rinci nama-nama tersebut demikian juga tentang berapa
jumlah dari nama-nama tersebut, bahkan terjadi perselisihan yang besar diantara
para ulama’ dalam masalah ini. Dinatara para ‘ulama yang melakukan penelitian
secara khusus dalam masalah ini adalah Abul Wafa’ Muhammad Darwis
rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Al Asma’ul Husna,
demikaian juga Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Beliau Al Qowa’idul
Mustla.
! Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah
dalm kitab Beliau yang berjudul Tauhidul Anbiya’ wal Mursalin
: “Pengikut para Nabi dan Rasul mereka itu mengikuti seluruh shifat bagi Ar
Rohman yang termaktub dalam kitab Kitabul Ilahiyah (Allahu A’lam mungkin
yang dimaksud dengan Kitabul Ilahiyah yaitu Al Qur’an.), yang telah sahih
dari hadits-hadits Nabi Shollahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka adalah
orang-orang yang mengenal nama-nama tersebut, mereka adalah orang-orang yang
akal dan hati mereka paham terhadap maknanya, serta mereka beribadah kepada
Allah dengan nama-nama tersebut disertai dengan ilmu dan menyakini hal tersebut
sebagai akidah. Mereka juga adalah orang-orang yang mengerti dan paham terhadap
konsekwensi dari nama-nama tersebut. Hal-hal ini merupakan keadaan hati mereka
dan pengetahuan kerububiyahan yang berasal dari Allah Azza wa Jalla.
Maka mereka ketika menyadari bahwa
Allah mempunyai shifat yang Maha Agung, Yang Maha Sombong, Yang Maha Mulia maka
penuhlah hati mereka dengan rasa takut dan mengagungkan Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Demikian juga ketika mereka
menyadari bahwa Allah Azza wa Jalla memiliki Shifat Al ‘Izza[xix], Al Qudroh (Maha Kuasa) maka hati mereka
akan merasa tunduk terhadapnya, dan merendahkan dirinya kepada Allah Azza wa
Jalla.
Demikian juga jika dengan shifat
Allah Ar Rohmah, Al Birr, Al Wujud, Al Karim maka akan hati mereka akan
dipenuhi dengan perasaan penuh harapan dan tamak terhadap apa yang terkandung
dalam shifat Allah tersebut, keutamaan-keutamaan dari Allah.
Hal yang hampir sama juga dengan
shifat ilmu, pengetahuan yang meliputi segala sesuatu yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala miliki maka mereka akan merasa selalu diawasi oleh Allah dalam
setiap gerak gerik mereka ataupun diamnya mereka.
Dengan mengetahui makna-makna
shifat-shifat Allah yang agung ini disertai dengan merealisasikannya maka
diharapkan seorang hamba termasuk dalam hadits Nabi Shollallahu ‘alahi wa
Sallam yang mulia :
« إِنَّ
لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمَا مِائَةً إِلاَّ وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا
دَخَلَ الْجَنَّةَ »
“Sesungguhnya
milik Allah 99 nama, barang siapa yang mengahshonya maka pasti masuk
surga”.[xx]
Maka Beliau Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata
: “Maka yang dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah,
memikirkannya, mengenalnya dan beribadah kapada Allah Ta’ala dengannya”.
Maka secara ringkas yang dimaksud
dengan ahso’ adalah sebagaimana yang disampaikan di atas oleh
para ulama, diantaranya adalah :
!
Amirul Mu’minin fil Hadits Abu Abdillah Muhammad bin ‘Isma’il Al Bukhori
rahimahullah berkata shohihnya[xxi] : “Yang dimaksud dengan « مَنْ أَحْصَاهَا
» adalah menghafalnya”. Dan hal ini dikomentari oleh An Nawawi rahimahullah
sebagai makna dhohir dari sabda Nabi Shollallahu ‘alahi wa Sallam
« مَنْ أَحْصَاهَا ».[xxii]
!
An Nawawi Asy Syafi’I rahimahullah berkata: “Yang dimaksud
dengan « مَنْ أَحْصَاهَا » adalah menghafalnya, beriman terhadapnya dan konsekwensi
dari nama tersebut serta beramal dengan isi kandungan dari nama tersebut”[xxiii].
!
Ibnu Baththol rahimahullah berkata : “Cara beramal dengan
kandungan asma’ul husna adalah dengan meneladani kandungan nama-nama Allah U
yang boleh/bisa untuk diteladani semisal Ar Rohiim [Yang Maha Penyayang], Al
Kariim [Yang Maha Dermawan]. Maka hendaklah seorang hamba melatih dirinya untuk
memiliki kandungan dari shifat-shifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang
semacam itu akan tetapi tentu dengan kandungan yang layak bagi hamba.
Adapun shifat Allah Azza wa Jalla yang khusus bagiNya
semisal Al Jabbar [Yang KehendakNya pasti menang], Al Adziim [Yang Maha Agung]
maka kewajiban seorang hamba adalah menetapkan adanya shifat
tersebut bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, tunduk
terhadapnya, dan tidak menghiasi dirinya dengan shifat tersebut.
Sedangkan nama-nama Allah Subhanahu wa Ta’ala yang padanya ada makna
janji maka kewajiban seorang hamba adalah menambatkan
pada hatinya rasa harap terhadapnya, adapun apabila nama-nama
tersebut padanya terkandung makna ancaman maka kewajiban seorang
hamba adalah menjauhinya, menjaga diri darinya, menambatkan dalam
hatinya rasa cemas dan takut yang disertai dengan
ilmu”[xxiv].
!
Syaikh As Sa’di rahimahullah berkata : “Maka yang
dimaksud dengan ihsho’ adalah dengan memahami asma’ Allah, memikirkannya,
mengenalnya dan beribadah kapada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengannya”.
Maka Marilah kita bergiat dalam
mempelajari asma’ dan shifat Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga kita dapat
merealisasikan hadits Nabi Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam yang mulia ini.
Allahu A’lam bish Showab…
اللهم انفعني بما علمتني وعلمني ما ينفعني وزدني علما
Wisma Al Hijroh, Sabtu 1 Rabu’ul
Akhir 1428/28 Maret 2009.
Abu Halim Budi bin Usman As
Sigambali
[Yang Selalu Fakir pada Robb dan
Mengharap ampunanNya]
[i] Akan datang keterangan mengenai apa yang
dimaksud dengan ahso, Insya Allah Ta’ala.
[ii] Syaikh Muhammmad Shubhi Hasan Halaq dalam
tahqiq Beliau tentang Subulus Salam Berkata : mudrodz ada
dua, itu bisa terjadi dalam dua hal, yaitu : Mudrodz pada matan dan pada sanad.
[Lihat Subulus Salam Al Maushul ila Bulughil Marom hal. 24/VII cet. Kedua,
Dar Ibnul Jauzy Riyadh, KSA.]
[iii] Beliau lebih dikenal dengan nama Ibnul
Arobi –dengan huruf alif dan lam- bukan Ibnu Arobi yang merupakan salah seorang
pemuka ajaran sufiyah yang dikafirkan oleh banyak ulama karena penyimpangan
yang dia lakukan
[iv] Lihat Subulus Salam Al Maushul ila
Bulughil Marom hal. 24/VII cet. Kedua, Dar Ibnul Jauzy Riyadh, KSA.
[v] [lihat Shohih wa Dhoif Sunan At Tirmidzi hal.
796, terbitan Maktabah Ma’arif Riyadh, KSA, cetakan pertama].
[vi] Syaikh Muhammad bin Sholeh Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Makna wajah telah diketahui
(sebagaimana makna wajah dalam bahasa Arab) akan tetapi kaifiyahnya (bagaimananya
wajah Allah) adalah suatu hal yang majhul/tidak kita ketahui sebagaimana
seluruh shifat Allah, akan tetapi kita mengimani bahwasanya Allah Azza wa
Jalla memiliki shifat wajah yang Allah shifati diriNya dengan shifat
tersebut sesuai dengan kemulian dan keagungannya”. [Lihat Syarh Al Aqidah Al
Washitiyah, hal. 184 terbitan Dar Ibnul Jauzy, Riyadh], Allahu A’lam.
[vii] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom
hal. 119/VII, cet. kelima. Terbitan Maktabah Sawady, Makkah Al Mukaromah.
[viii] Lihat Mulakhos Fi Syarhi Kitabit Tauhid
hal. 326 cet. pertama, terbitan Dar Ashimah, Riyadh, KSA.
[ix] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah
hal. 551/V dalam Kitabul Iman, Maktabah Syamilah.
[x] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah hal.
551/V dalam Kitabul Iman, Maktabah Syamilah.
[xi] Pernyataan Beliau ini dhohirnya
mengisyaratkan bahwa Beliau berpendapat seluruh asma’ dan shifat Allah I yang
ada dalam Al Qur’an pasti bisa diketahui oleh hamba maknanya dan bisa memaknai
kemuliannya, Allahu A’lam, pent.
[xii] Akan datang keterangan mengenai apa yang
dimaksud dengan ahso, Insya Allah Ta’ala.
[xiii] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal.
39/IX, Maktabah Syamilah.
[xiv] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal.
39/IX, Maktabah Syamilah.
[xv] Lihat Shohih Al Bukhori no. 7392.
[xvi] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal.
39/IX, Maktabah Syamilah.
[xvii] Sehingga tidaklah sama antara shifat yang
ada pada Allah I dan mahlukNya. Allahu A’lam,pent.
[xviii] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil
Marom hal. 121/VII, cet. kelima. Terbitan Maktabah Sawady, Makkah Al
Mukaromah.
[xix] Shifat izzahnya Allah itu tercakup dalam
tiga jenis yaitu :
- Izzatul Quwah/ Maha Perkasa.
- Izzatul Imtina’/ Maha Kaya dan tidak membutuhkan mahlukNya.
- Izzatul Qohri wal Gholabah/ kekuatan untuk menang dan mengalahkan, dalam artian jika Allah menghendaki sesuatu maka sekalipun seluruh hamba tidak menghendakinya namun jika Allah menghendakinya maka kehendak Allah lah yang menang.
[Silahkan merujuk pada Kitab Al
Qowa’idul Hissan Al Muta’allaqotul fi Tafsiril Qur’an Syaikh
Abudurrahman As Sa’di oleh
rahimahullah hal. 21 terbitan Dar
Ibnul Jauzy, Riyadh, KSA atau bisa merujuk kepada terjemahan kitab tersebut
yang saya terjemahkan sendiri, mudah-mudahan Allah mudahkan untuk
menyelesaikannya.
[xx] Telah lewat takhrij hadits ini.
[xxi] Lihat Shohih Al Bukhori no. 7392.
[xxii] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal.
39/IX, Maktabah Syamilah.
[xxiii] Lihat Syarh An Nawawi ‘Ala Muslim hal.
39/IX, Maktabah Syamilah.
[xxiv] Lihat Taudhihul Ahkam min Bulughil
Marom hal. 121/VII, cet. kelima. Terbitan Maktabah Sawady, Makkah Al
Mukaromah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar